Kisah Sapi Ber-NIP


Tentu bukan rahasia lagi kalau segudang stigma atau cap negatif dilekatkan pada PNS atawa pegawai negeri. Joke berikut menjelaskan stigma betapa parahnya kinerja PNS.

Begini kisahnya:
Salah satu program pemerintah (Inpres) pada waktu jaman orde baru adalah mendatangkan sapi impor (biasa disebut Sapi Inpres) untuk membantu peternak susu meningkatkan produktivitas susu mereka. Nah, sapi-sapi impor tsb yang bisa menghasilkan 5 liter susu perhari lalu didistribusikan keberbagai KUD susu di daerah-daerah dingin penghasil susu seperti Salatiga, Pangalengan dan sebagainya. Dan benar, sapi-sapi inpres tersebut menghasilkan produktivitas jauh lebih tinggi daripada sapi-sapi lokal, pada bulan-bulan pertama.

Namun setelah setahun berjalan produktivitas sapi-sapi impor tersebut mulai menurun hingga akhirnya sama dengan sapi-sapi lokal. Padahal perlakuan yang diberikan kepada mereka sama dengan di negeri asalnya, mulai dari suhu yang sejuk, pakan hingga perawatan kesehatan mereka. Para ahli persapian pun bingung tak tahu sebab muasal kenapa sapi-sapi yang dulunya begitu produktif kini tak ubahnya dengan sapi-sapi pribumi.

Demikian pula dengan rekan pribumi mereka yang melihat dengan senyum rekan impor mereka telah sama tak produktifnya seperti mereka, dan lalu bertanya:
Sapi lokal: "Sori pren, kenapa sih anda sekarang gak kayak dulu produktifnya?"
Sapi impor ( sambil tersenyum menunjukkan pada pinggul/bokongnya) : "Nih lihat aku kan sudah punya cap seperti punyamu kan?"

Hemm, tampaknya cap yang bernomor itu seakan seperti NIP laiknya....!

Masalah-Utama Utama Birokrasi Kita

Pertanyaan besar yang juga merupakan keluhan masyarakat mengenai kantor pemerintah berikut jajarannya sudah sering kita dengar seperti "Kenapa sih lama ngurus gitu aja?", "Kok PNS itu mesti gak profesional, sih?", "Wah payah, mesti ke kantor pemerintah. Pasti bakalan harus keluar duit deh biar diurus!" dan sebagainya. Persepsi seperti itulah yang melekat di benak rakyat terhadap birokrasi kita. Lamban dan tak karuan!

Apa mau dikata, fakta berikut memang menunjukkan betapa tidak profesionalnya pengelolaan organisasi publik berplat merah kita:

a. Organisasi

Organisasi pemerintahan belum tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing). Maksudnya ada fungsi yang sebenarbya tidak diperlukan tapi diada-adakan, sebaliknya ada fungsi yang diperlukan namun justru tidak ada. Dari segi ukuran organisasi juga sering tidak proporsional. Birokrasi pemerintah banyak yang masih gendut kelebihan lemak yang tidak perlu (dan biasanya membawa penyakit pula) serta terlalu banyak lapisannya (layer) yang menimbulkan rantai birokrasi yang panjang. Singkatnya tidak ramping dan atletis (slim and flat).

b. Peraturan perundang-undangan

Beberapa peraturan perundang-undangan di bidang aparatur negara masih ada yang tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, dan multitafsir. Selain itu, masih ada pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, baik yang sederajat maupun antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan di bawahnya atau antara peraturan pusat dengan peraturan daerah. Di samping itu, banyak peraturan perundang-undangan yang belum disesuaikan dengan dinamika perubahan penyelenggaraan pemerintahan dan tuntutan masyarakat.

c. SDM Aparatur

SDM aparatur negara Indonesia (PNS) saat ini berjumlah 4,732,472 orang (data BKN per Mei 2010). Masalah utama SDM aparatur negara adalah alokasi dalam hal kuantitas, kualitas, dan distribusi PNS menurut teritorial (daerah) tidak seimbang, serta tingkat produktivitas PNS masih rendah. Manajemen sumber daya manusia aparatur belum dilaksanakan secara optimal untuk meningkatkan profesionalisme, kinerja pegawai, dan organisasi. Selain itu, sistem penggajian pegawai negeri belum didasarkan pada bobot pekerjaan/jabatan yang diperoleh dari evaluasi jabatan. Gaji pokok yang ditetapkan berdasarkan golongan/ pangkat tidak sepenuhnya mencerminkan beban tugas dan tanggung jawab. Tunjangan kinerja belum sepenuhnya dikaitkan dengan prestasi kerja dan tunjangan pensiun belum menjamin kesejahteraan.

d. Kewenangan

Masih adanya praktek penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan belum mantapnya akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.

e. Pelayanan publik

Pelayanan publik belum dapat mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat dan belum memenuhi hak-hak dasar warga negara/penduduk. Penyelenggaraan pelayanan publik belum sesuai dengan harapan bangsa berpendapatan menengah yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat.

f. Pola pikir (mind-set) dan budaya kerja (culture-set)

Pola pikir (mind-set) dan budaya kerja (culture-set) birokrat belum sepenuhnya mendukung birokrasi yang efisien, efektif dan produktif, dan profesional. Selain itu, birokrat belum benar-benar memiliki pola pikir yang melayani masyarakat, belum mencapai kinerja yang lebih baik (better performance), dan belum berorientasi pada hasil (outcomes).

Wajah Birokrasi Kita

Silakan simak wajah birokrasi kita melalui tabel dibawah ini:

Sungguh menyedihkan!
Betapa tidak, dalam hal perwujudan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, sangat memperihatinkan. Dari data Transparency International pada tahun 2009, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sungguh sangat rendah, berada di papan bawah klasemen (2,8 dari 10) jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya.

Tampaknya Akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, kualitasnya perlu banyak pembenahan termasuk dalam penyajian laporan keuangan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan K/L (Kementerian/Lembaga) dan Pemda masih payah, banyak yang perlu ditingkatkan menuju ke opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Dalam hal pelayanan publik, pemerintah belum dapat menyediakan pelayanan publik yang berkualitas sesuai dengan tantangan yang dihadapi, sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei integritas yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2009 yang menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik Indonesia baru mencapai skor 6,64 dari skala 10 untuk instansi pusat, sedangkan pada tahun 2008 skor untuk unit pelayanan publik di daerah sebesar 6,69. Skor integritas tersebut menunjuk pada karakteristik kualitas dalam pelayanan publik, seperti ada tidaknya suap, ada tidaknya Standard Operating Procedures (SOP), kesesuaian proses pelayanan dengan SOP yang ada, keterbukaan informasi, keadilan dan kecepatan dalam pemberian pelayanan, dan kemudahan masyarakat melakukan pengaduan.

Dalam hal kemudahan berusaha (doing business), menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat memberikan pelayanan yang baik bagi para investor yang berbisnis atau akan berbisnis di Indonesia. Hal ini antara lain tercermin dari data International Finance Corporation pada tahun
2009. Berdasarkan data tersebut, Indonesia menempati peringkat doing business ke-122 dari 181 negara atau berada pada peringkat ke-6 dari 9 negara ASEAN. Padahal Indonesia merupakan salah satu pasar utama bagi investor global.

Dalam kaitan dengan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi, kondisinya masih banyak dikeluhkan masyarakat. Berdasarkan penilaian government effectiveness yang dilakukan Bank Dunia, Indonesia memperoleh skor -0,43 pada tahun 2004, -0,37 pada tahun 2006, dan -0,29 pada tahun 2008, dari skala -2.5 (skor terburuk) dan 2,5 (skor terbaik). Meskipun pada tahun 2008 mengalami peningkatan menjadi -0,29, skor tersebut masih menunjukkan kapasitas kelembagaan/efektivitas pemerintahan di Indonesia tertinggal jika dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh negara-negara tetangga. Kondisi ini mencerminkan masih adanya permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, seperti kualitas birokrasi, pelayanan publik, dan kompetensi aparat pemerintah.

Berdasarkan penilaian terhadap Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), pada tahun 2009 jumlah instansi pemerintah yang dinilai akuntabel baru mencapai 24%.

Gambaran di atas mencerminkan kondisi birokrasi kita saat ini. Sungguh sangat memprihatinkan! Karena itu tak ada pilihan lain selain harus kita rubah total, perubahan yang bersifat mendasar. strategik dan menyeluruh, SEKARANG! Reformasi Birokrasi bukan lah opsi melainkan keharusan, "It's not an option, it's a rule!"

Bedanya Reformasi Jilid II dan Jilid I

Tampaknya pemerintah akhirnya menyadari bahwa model atau konsep Reformasi Birokrasi yang dijalankan sejak pemerintahan SBY memiliki beberapa kekurangan yang mendasar, terbukti dengan diterbitkannya Reformasi Birokrasi Gelombang II - saya menyebutnya dengan jilid II, karena pada periode yang pertama hanya terjadi "demam" Reformasi Birokrasi, belum terjadi gelombang (besar) perubahan. Semoga pada jilid II ini memang terjadi gelombang besar perubahan pada semua lini pemerintahan di Indonesia.

Nah Jilid II ini tampaknya bukan seperti cerita bersambung biasa dimana jilid 2 adalah kisah baru yang menjadi lanjutan cerita sebelumnya. RB (Reformasi Birokrasi) jilid 2 jelas menunjukkan skenario yang berbeda dengan RB jilid I terutama menyangkut sifat perubahan, sasarannya dan area perubahan. Secara filosofis teori manajemen perubahan, pun berbeda dengan dimasukkannya area perubahan tentang pola pikir (mindset) dan budaya kerja (culture set)

Agar lebih jelas mari kita simak perbedaan antara RB Jilid I dengan RB jilid II berikut ini:
Dari sifat perubahan yang sebelumnya parsial dilakukan oleh setiap instansi menurut skenario masing-masing, kini dikelola secara nasional dalam suatu keterpaduan antar instansi mengarah kepada tujuan Reformasi Birokrasi yang satu yakni "Pemerintahan Kelas Dunia"!

Sasaran RB jilid satu yang sempit yakni 'mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik' kini diperluas menjadi 3 sasaran yang lebih tajam yakni pemerintahan yang bebas KKN, peningkatan kualitas layanan publik, serta peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja.

Pada RB jilid II Area perubahannya pun diperluas dengan penambahan 3 elemen utama yakni Pengawasan, Akuntabilitas dan Pelayanan Publik serta memperpertajamnya dari 'budaya organisasi' menjadi pola pikir (mindset) dan budaya kerja (culture set) aparatur.

Perubahan konsep RB ini jelas akan berdampak luas pada pendekatan yang selama ini dilakukan oleh berbagai instansi pemerintah. Pertama, setiap instansi tidak dapat seenaknya merumuskan reformasi birokrasinya tanpa memadukannya dengan instansi lain dan mengarah ke satu tujuan yang sama yang dikawal oleh Tim Manajemen Perubahan Nasional. Pada dasarnya Tim inilah yang bertanggung jawab menciptakan gelombang (kalau perlu tsunami) reformasi birokrasi yang semestinya melanda seluruh instansi pemerintah berikut aparatur di dalamnya.

Kedua, dengan meluasnya cakupan sasaran dan area perubahan berarti setiap instansi harus membuat sekenario RB yang sistematis dan terpadu serta yang bersifat mendasar, strategik dan menyeluruh agar terjadi perubahan yang bersifat transformasional. Tentang perubahan Transformasional yang bersifat mendasar, strategik, dan menyeluruh dapat anda baca disini.

Well, apa komentar anda???

MITRA RB